Peci

Presiden Ir. Soekarno ketika berpidato di atas podium dan kegiatan kenegaraan lainnya gagah berani dengan tongkat dan PECI nya. Bagi beliau peci sebagai simbol dan karya bangsa yang kental nuansa religius dan nasionalisme. Di Indonesia mengenal peci hitam yang melekat di kepala sebagai suatu budaya nusantara. Mengenakannya dipadukan bisa dengan kain sarung. Bahkan akan semakin elegan dengan berbaju jas sehingga tampak harmonis keterpaduannya.

Yang suka memakainya bukan karena untuk shalat saja bagi umat Islam, tapi banyak pejabat negara memakainya untuk acara pelantikan menteri, kepala daerah, mahkamah konstitusi bahkan di atau acara resmi kenegaraan lainnya.

Sejarah munculnya peci punya sejarah panjang bagi negeri ini. Sebagai simbol, pernak pernik atau status sosial bagi suatu kaum. Untuk itu, jasmerah (jangan melupakan sejarah) tepat untuk mengingat dan melestarikannya sampai kedepannya. Untuk menselaraskan pemakaian peci, maka saya memadukannya dengan membaca buku “Mukidi” dan “Merdeka Sejak Hati”. Tiba-tiba saya teringat dengan kisah pribadi yang lama tak saya ungkap. Peci ini menjadi bagian saksi Ijab Qabul pernikahan sakral yang pernah saya jalani.

Peci ini warnanya sudah memudar dan terlihat kecil. Namun dibalik perjalanan ini menjadikan saya gagah saat itu melafazkan kalimat sakral untuk membentuk keluarga sakinah mawadah warahmah. Apakah peci ini akan saya pensiunkan pemakaiannya. Sepertinya jawaban itu harus saya simpan sampai pada waktunya tiba.

Ini peci sungguhan yang saya ceritakan tapi bukan kepanjangan “peluk dan cium” ya. Saya sering mengatakan “peci ya” atau mengirim pesan kepada istri maka dibalasnya dengan senyum manisnya dan mengatakan “muah”. Tak berlaku bagi si jomblo dan belum menikah ya. Ok

Jakarta, 30-06-2019

Leave a Reply